SEMBAHYANG CINTA

Kutipan dari Dr.Agus Maladi Irianto, MA (Dekan FIB UNDIP Semarang)


Siapakah Kita?

 Kita adalah 
anak SMA yang malas belajar matematika,
di rumah jarang bertegur sapa dengan orang tua,
di sekolah tidak ikut kegiatan ekstra, maunya jadi juara

Siapakah Kita?
Kita adalah supportter sepakbola,
Menggeruduk stadion dengan jumawa, merusak papan nama,
dan melempar batu kejalan raya, lantaran kesebelasannya gagal dalam berlaga
Tapi, siapakah kita?

Ya, menjadi kesepakatan apalagi jika dalam berita sehari-hari yang kita konsumsi cuma sekedar hiruk pikuk sekelompok orang yang selalu kuyup dengan rasa benci. Maraknya tingkah laku agresif sekelompok remaja kota -untuk seolah tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia telah menjadi gejala yang telah mengerus pikiran kita untuk mengurainya.

Sebut saja, tawuran antar pelajar, tawuran antarsupportter sepakbola, tawuran antargeng motor, atau tawuran-tawuran yang lain, kini telah menjadi perilaku agresif secara masif masyarakat usia muda kita. Tawuran telah menjadi tragedi sosial masyarakat kita.

Tawuran itu terjadi hanya mengikuti solidaritas sempit yang tidak dipikirkan akibat yang bakalan terjadi dikemudian hari. Dampak sebuah tawuran, bukan hanya kerusakan gedung, mobil dan berbagai fasilitas umum dan pribadi lainnya, tetapi juga luka-luka dan cacat tubuh anak-anak yang terlibat di dalamnya. Bahkan orang-orang yang ada disekitar tawuran juga ikut kena getahnya. Tidak sedikit nyawa yang ikut melayang dalam tawuran yang sebenarnya tidak jelas sebab dan alasan-alasannya.

Hari-hari ini orang menjadi bersemangar membawa parang dan pentungan untuk menciderai sesama teman SMA, menyerang sesama penggila bola, memukuli sesama sopir angkutan kota, atau apa saja. Alasannya sederhana : mereka harus binasa lantaran tak sejalan dengan pemikiran kita. Atas nama teman SMA, atas nama supportter sepakbola, atas nama supir bis kota, atau atas nama kelompok apa saja, lalu mengkonstruksi kepentingan-kepentingan yang terlanjur membabi buta.

Kepentingan-kepentiangan itu kemudian ber-metamorfosa menjadi "agama", yang hanya kuyup pada fanatisme yang beranak pinak menjadi purbasangka. Di manakah kata "cinta", jika kepentingan-kepentingan itu justru menjadi kapital untuk saling menikam? Di manakah kata "cinta", jika perbedaan kepentingan menjelma menjadi "agama"?

Memang, setiap manusia sadar atau tidak cenderung akan mengelompokkan diri menurut kesamaan "agama" yang bertolak dari kepentingan-kepentingan tesebut. Akaa tetapi, "agama-agama" itu adalah mozaik dari kemajemukan yang harus kita terima apa adanya, Dan, kemajemukan menjasi keniscayaan, lantaran diluar semua itu tidak harus dipersepsi dan direspons sebagai kelompok berbeda yang harus dimusuhi.

Akan tetapi, persepsi dan respon terhadap kelompok berbeda itulah, kemidian akan menjelam menjadi kepentingan-kepentingan serba bisa. sementara kepentingan-kepentingan tersebut, justru disikapi sebagai "agama" yang serba baik dan benar. Seseorang atau kelompok orang yang akan lebih mengedepankan "agama"nya, atas nama kepentingannya yang serba benar tersebut.

Akibatnya, kekerasan demi kekerasan seolah tidak pernah tidur di bumi ini. kekerasan dilakukan oleh suatu "kelompok agama" terhadap "kelompok agama lain" terjadi terus menerus, " agama-agama itu telah menjelma menjadi kendaraan yang tak lagi mengkonstruksi kedamaian, namun justru menjadi penyalur kebencian, dendam, dan tindak kekerasan.

Atas nama kepentingan, atas nama fanatisme "agama", seseorang atau sekelompok berjibaku mengangkat parang dan pentungan. Atas nama fanatisme "agama" seseorang atau kelompok, justru mewaqriskan purbasangka yang membabi-buta. Mengapa kita harus serta merta mencintai "agama", kalau cuma sekedar membuahkan tegur sapa yang saling curiga? Bukankah lebih baik kita meng"agama"kan cinta, dengan "beribadah" sexara tulus sebagaimana pemeluk yang teguh, serta terus-menerus mengkampanyekan cinta.

Cinta adalah kata sakti untuk menepis rasa dengki dan sakit hati. Jalaluddin Rumi, penyair sufi yang lahir 30 September 1207 M di Balkh, selalu mengoda saya bahwa "cinta seperti sembahyang." Cinta dapat menyembuhkan manusia dari duka yang dideritanya. Cinta memiliki kekuatan luar biasa dalam mengubah kepribadian, perasaan, dan pikiran manusia. jalan cinta lebih utama daripada jalan akal dan pengetahuan.

Tidak ada salahnya marilah kita mengajak untu mengkampanyekan cinta, kita idealnya tidak hanya terjebak pada pertukaran notisi-notisi dalam bentuk "Valentines". Lebih baik, tebarkanlah rasa cinta disekitar kita. marilah kita dengan tulus untuk meng-agamakan cinta, bukan sebatas mencintai agama yang justru membuat fanatisme membabi-buta.

0 komentar:

Posting Komentar

iki dofollow kang boss,,, monggo nek meh tapak tilas